Masjid Paris! atau Mosquée de Paris, rumah ibadah yang konon berasitektur Spanyol dan Afrika utara ini akhirnya masuk dalam agenda liburan keluarga di Paris. Benar saja, tak hanya cantik menawan namun juga teduh terasa saat memasukinya. Kumandang Azan terdengar meskipun hanya menggema di dalam area masjid namun panggilan shalat itu membuat kalbu terharu....
Liburan sekolah tiba. Dan kota Paris menjadi pilihan kami untuk menghabiskan liburan keluarga sebelum pulang ke tanah air di Indonesia. Sudah kesepakatan, liburan akan diisi dengan acara santai dan budaya. Dari beberapa daftar yang kami tulis Masjid Paris menjadi tujuan utama kami.
Malu juga hati ini, sebagai umat Islam, setiap kali bertandang ke Paris, masjid yang justru menjadi tujuan utama selalu terlewatkan. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak kan?
Masjid Paris atau di Perancis di sebut dengan Mosquée de Paris, merupakan masjid terbesar di negara ini. Wajar saja adanya juga di ibukota. Namun bukan yang tertua tertua di Perancis.
Karena itu sebelum bercerita kunjungan saya ke dalam Masjid Paris, saya berbicara sedikit kilas balik mengenai mengapa masjid ini dibangun.
Pada tahun 1856 berdasarkan desakan permintaan dari kaum Muslimin yang bermukim di kota Paris, pemerintahan Perancis mengeluarkan surat izin untuk memberikan lahan di pemakaman Paris Père-Lachaise, yang juga merupakan pemakaman bagi umat Kristiani. Tanah seluas 800 meter diberikan bagi umat Islam untuk memakamkan jenazah dan juga didirikan sebuah masjid kecil sebagai tempat pemandian dan persembahyangan jenazah.
Tempat ini, lebih banyak digunakan oleh bangsa Otoman, keturunan Turki. Tanah yang hanya seluas 800 meter itu, terasa semakin kecil dengan bertambahnya umat Islam yang datang ke Paris. Hingga kaum Muslimin lebih memilih tempat pemakaman di tempat lain atau di negara mereka sendiri. Yang ada kuburan dan masjid menjadi tak terawat karena jarang digunakan.
Proyek baru pun mulai mengalir, seperti renovasi dan pelebaran masjid, sayang dikarenakan Perang Dunia I, gagal terlaksanakan.
Berkat seorang jurnalis Perancis yaitu Paul Boudaire, yang bekerja di surat kabar yang banyak menyinggung masalah penjajahan negara Perancis terhadap negara jajahannya, Paul mengusulkan untuk membangun sebuah masjid yang layak bagi kaum Muslimin. Makanya Paul Boudaire dianggap sebagai bapak dari proyek berdirinya Masjid Paris yang hingga kini berdiri dengan kokoh.
Paul Boudaire, bapak dari pendiri masjid yang justru bukan pemeluk Islam ini dengan antusias mengusulkan dan mendorong agar proyek pendirian Masjid Paris ini terlaksana sebagai tanda penghormatan bangsa Perancis terhadap kaum Muslimin yang telah banyak memberikan jasa bagi negara Perancis pada masa Perang Dunia I. Memang pada Perang Dunia I, banyak penduduk di negara jajahan Perancis seperti Maroko, Aljazair dan negara di Afrika Utara yang merelakan nyawanya justru demi membela negara jajahannya, Perancis.
Maka usai Perang Dunia I, tepatnya tahun 1922, peletakan batu pertama dilakukan di daerah jardin des Plantes, Paris, yang menjadi lokasi berdirinya masjid sebagai tanda hormat kepada 70.000 umat Muslim yang dianggap sebagai pahlawan Perancis.
Empat tahun kemudian tepatnya tanggal 16 Juli 1926, rumah ibadah dengan insipirasi dari Masjid el-Qaraouiyyin di Fès Maroko yang merupakan salah satu masjid tertua di dunia, resmi didirikan. Presiden Perancis Gaston Doumergue dan Sultan Maroko Moulay Youssef meresmikan masjid terbesar pertama di Paris ini yang kini mendapat gelar sebagai tempat bersejarah sejak 9 Desember 1983.
Saatnya saya bercerita bagaiman kunjungan saya di rumah Allah ini. Paling mudah menuju ke Masjid Paris adalah dengan metro. Berada di wilayah 5 Paris (5eme arrondisement), menuju ke sana mengambil metro 7 dan berhenti di Place Morge. Saat kami keluar dari metro, hanya berjalan sedikit menara masjid setinggi 33 meter langsung terlihat dan tembok putih mengelilingi seluruh area masjid.
Saat kami datang, penjaga masjid langsung mendatangi kami. "Maaf waktu kunjungan hampir usai, jika ingin melihat lebih banyak silakan kembali nanti," katanya.
"Kami datang untuk shalat dzuhur," jawab suami saya, Kang Dadang.
"Ohh, Anda Muslim?" timpalnya.
"Ya, kami sekeluarga Muslim," jawab saya.
"Alhamdulillah, silahkan masuk, Anda boleh lihat-lihat masjid jika berkenan sebelum shalat," tuturnya dengan ramah.
Kami pun memasuki masjid. Suasana asri dan sejuk langsung menyambar pemandangan saya. Saya dan suami pernah mendatangi Masjid el-Qaraouiyyin di kota Fès, Maroko dan memang Mosquée de Paris ini banyak dipengaruhi arsitekturnya dari sana.
Bagian utama Masjid Paris di tengah-tengahnya berupa taman asri dengan bunga-bunga cantik dan pohon palem. Juga air mancur yang mengalir kebeberapa penjuru di tamannya. Lalu lorong-lorong tempat berbagai keperluan. Seperti madrasah, ruang andmistrasi, ruang pertemuan hingga perpustakaan.
Di bagian kedua masjid, pilar-pilar berbaris sepanjang lorong dengan lantai keramik dan di tengahnya terdapat teras besar terbuka. Di bagian kedua inilah ruang ibadah dengan dekorasi dari berbagai dunia Islam menyatu. Masjid Paris bersih dan rapi.
Saat suami saya, Kang Dadang alias David dan anak sulung saya sedang melakukan shalat masjid, saya menjaga si kecil di luar yang tak bisa diam berlari kesana-kemari. Sepatu-sepatu yang ditanggalkan suami dan anak saya begitu saja diluar, juga beberapa pengunjung lainnya, langsung dibereskan oleh pengurus masjid, ditaruhnya dalam rak sepatu. Maklum beberapa masjid di kota saya, Montpellier, rapi dan bersihnya tak sebanding dengan masjid di Paris ini.
Sambil menunggu waktu dzuhur, kami kembali melihat-lihat isi masjid. Ruang perpustakaan sempat menggoda kami untuk melihat-lihat beberapa buku, namun berhubung tak ada orang yang menjaga, urung niat kami untuk mengambil beberapa buku dan melihatnya. Tempat wudhu bagi wanita dan pria terpisah jauh. Wanita berada di dalam dan pria berada di halaman. Baiknya, masjid bisa dijangkau bagi penyandang cacat, mereka yang memakai kursi roda dapat memasuki masjid tanpa kesulitan.
Saya sebenarnya ingin benar bertemu dengan Imam di sini, tapi sayangnya dirinya sedang sangat sibuk saat itu, ditambah lagi harus bersiap-siap untuk menjadi Imam shalat di siang itu. Maka saya berbincang-bincang sedikit dengan pengurus setempat.
Masjid Paris saat ini dipimpin oleh rektor Dalil Boubakeur sejak tahun 1922. Karena di Masjid Paris tak hanya terdapat tempat ibadah saja, namun institut pendidikan juga terdapat. Bahkan saking banyaknya turis yang mengunjungi masjid ini, restoran, salon teh hingga pemandian hamam (uap) juga terdapat. Dan kabarnya, justru tempat hiburan ini yang paling menarik turis dan penduduk setempat untuk mendatanginya.
Saya penasaran, bertanya jika nantinya akankah saya mendengar suara adzan dari menara? "Indahnya memang seperti itu ya? Tapi kita kan hidup di negara yang tak berlandaskan agama, apalagi ini bukan negara Islam, maka adzan berkumandang ke luar dari masjid ini dilarang tentunya," kata pengurus masjid.
Namun, ia melanjutkan, "Tapi nanti Anda akan mendengar adzan juga, yang akan terdengar hanya di area masjid saja".
Sambil ngobrol dengan pengurus masjid, saya lihat dari tadi beberapa turis datang, dan rata-rata berpakaian sopan. Tiba-tiba seorang turis wanita berambut pirang dengan seorang pria, memasuki masjid. Yang jadi masalah, perempuannya pakai celana pendek, super pendek! Alias cuma pantat saja yang ketutup, dan kaos buntung dengan pusar terlihat.
Cepat-cepat petugas masjid mendatangi kedua pasangan tersebut, dengan sopan menyatakan jika waktu berkunjung telah usai, dan saat ini mereka sedang mempersiapkan untuk shalat.
Saat si wanita berkata akan kembali lagi nanti, dengan sangat berhati-hati, si pengurus masjid menjelaskan jika, memasuki rumah Tuhan, berpakaian sopan sangat dianjurkan, layaknya jika Anda memasuki gereja. "Saya rasa di tempat ibadah manapun tertulis peraturan yang sama," tutur petugas masjid kepada wanita seksi tersebut.
Saat kembali untuk meneruskan perbincangan kami, saya selidiki, apakah sering kedatangan pengunjung seksi? Si bapak pengurus hanya tersenyum, sambil berkata, "Yahh namanya juga negara bebas, berpakaian pun ikut bebas, dan saya rasa tinggal bagaimana caranya kami menyampaikan kepada mereka untuk menghormati tempat ibadah, karena kalau anda datang ke gereja pun, sama kan? Kerap tertulis pakaian sopan yang diperbolehkan memasuki gereja," katanya.
Memang benar, saat saya mengunjungi beberapa gereja di beberapa negara, beberapa kali saya melihat, petugas keamanan menolak beberapa pengunjung yang bercelana pendek untuk masuk kedalamnya. Jadi apalagi masjid ya? Yang untuk melakukan ibadah pun harus menutupi badan bagi kaum wanitnya.
Saya sendiri saat datang, tidak berkerudung hanya begitu memasuki masjid, selendang langsung saya pakai untuk menutupi kepala saya. Tapi selebihnya, bagi turis lainnya tak usah mengenakan penutup kepala, yang terpenting pakaian cukup dinilai sopan, bahkan kaus tangan pendek pun bisa menikmati keindahan masjid yang keramik dan dekorasinya asli dibawa dari beberapa negara Islam. Bagi pengunjung bukan Muslim, dikenakan biaya masuk, karena dianggap sebagai turis.
Pengurus masjid berpamitan untuk mempersiapkan waktunya shalat dzuhur. Suami saya yang juga ikutan sibuk cari informasi soal masjid, mendatangi saya.
"Kamu tahu tidak? Pada masa perang dunia kedua, masjid ini dipakai sebagai tempat persembunyian bangsa Yahudi!" tutur si akang bule suami saya.
"Wahhhh, saya nggak tahu, berarti saat itu toleransi agama sangat kental ya? Bayangkan umat Islam menolong kaum Yahudi untuk menyelamatkan nyawa mereka, yang saya tahu sekarang kan terbalik, yang ada perang melulu rebutan tanah," jawab saya.
Obrolan kami terputus saat adzan terdengar. Kami pun melaksanakan niat kami untuk shalat jamaah. Layaknya di Maroko, beberapa wanita melakukan shalat dengan pakaian Muslim mereka, hanya saya seorang yang mengenakan mukena, dan menjadi bahan pertanyaan para wanita muslim dimana bisa mendapatkan mukena seperti ini.....
Usai shalat, tujuan kami adalah mengisi perut yang dari tadi sudah main beduk! Maklum musim panas waktu shalat bergeser siang. Dzuhur baru dimulai pukul 13.30 dan saat itu waktu menunjukan pukul 14.00. Sudah bisa ditebak tentunya, kemana perut ini akan diisi. Apalagi kalau bukan restoran yang masih satu kawasan dengan masjid.
Saat saya memasuki restoran, suasananya bagaikan di Maroko. Dekorasi hingga jenis makanan yang ditawarkan membuat saya serasa kembali ke Maroko. Bagian depan restoran dipakai untuk salon teh, dan teh mint yang dituangkan ala Maroko sudah membuat saya tak sabar untuk segera mencicipi hidangan di restoran ini.
Tajine dan couscous menjadi pilihan kami. Sayangnya....dari mulai waktu menunggu kebagian tempat hingga datangnya makanan pakai acara lamaaaaa banget...! Satu jam kemudian barulah kami bisa mengisi perut, yang ludes dalam hitungan menit, wajar nahan lapar sudah dari tadi he-he-he...
Soal rasa? Lumayanlah dan soal harga? Boleh dibilang cocoklah dengan Paris. Tapi yang paling menyenangkan di restoran ini justru tempat ngetehnya bagi saya... duduk-duduk dengan santai di bawah pohon ditemani dengan teh hangat dan kue manis ala Maroko. Memulai liburan dengan ibadah selain menenangkan juga menyenangkan sekali (sumber: kompas.com)
No comments:
Post a Comment