REPUBLIKA.CO.ID, Sejak Perang Badar, pihak Quraisy tidak pernah tenang lagi. Lebih-lebih karena kesatuan Zaid bin Haritsah telah berhasil mengambil alih jalur perdagangan mereka ketika hendak pergi ke Syam melalui jalan Irak.
Orang-orang Quraisy kemudian sepakat menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan agar ikut serta bersama mereka, menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Tak hanya kaum pria, pihak Quraisy juga membawa pula kaum wanita mereka, dipimpin oleh Hindun, istri Abu Sufyan.
Hindun adalah sosok yang paling ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa Badar itu, ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang dicintainya tewas terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Madinah yang disiapkan dari Dar An-Nadwa itu terdiri dan tiga brigade.
Brigade terbesar dipimpin oleh Talhah bin Abi Talhah terdiri dari 3.000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Tsaqif, selebihnya dari Makkah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan senjata yang mereka bawa tidak sedikit, dengan 200 pasukan berkuda dan 3.000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.
Sementara itu, Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka, dengan teliti dan seksama memerhatikan semua kejadian itu. Di samping kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan golongannya, Abbas juga mempunyai rasa solider dan sangat mengagumi Muhammad.
Hal inilah yang mendorongnya—tatkala diketahuinya keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang begitu besar—menulis surat menggambarkan segala tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka. Surat itu diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada Nabi. Dan orang ini pun sampai di Madinah dalam tiga hari, dan surat itu pun diserahkan kepada Rasulullah.
Pasukan Quraisy pun berangkat dan sampai di Abwa'. Ketika melalui makam Aminah binti Wahab—ibunda Rasulullah SAW—timbul kedengkian beberapa orang yang berpikiran picik. Terpikir oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan itu agar kelak tidak menjadi kebiasaan Arab. "Jangan menyebut-nyebut soal ini. Kalau ini kita lakukan, Bani Bakar dan Bani Khuza'ah akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita," kata mereka.
Quraisy meneruskan perjalanan sampai di 'Aqiq, kemudian mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari Madinah.
Orang dari Ghifar yang diutus oleh Abbas bin Abdul Muthalib telah sampai di Madinah. Ia kemudian menyerahkan surat tersebut kepara Rasulullah, yang kemudian dibacakan oleh Ubay bin Ka'ab. Rasulullah meminta isi surat itu dirahasiakan, dan sang utusan kembali ke Madinah langsung menemui Sa'ad ibnu Al-Rabi' di rumahnya. Diceritakannya apa yang telah disampaikan Abbas kepadanya dan ia juga meminta supaya hal itu dirahasiakan. Akan tetapi istri Sa'ad yang sedang berada dalam rumah waktu itu, mendengar juga percakapan mereka. Dengan demikian, sudah tentu hal itu bukan rahasia lagi.
Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu'nis, oleh Muhammad ditugaskan menyelidiki keadaan Quraisy. Menurut pengamatan mereka, ternyata Quraisy sudah mendekati Madinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput sekeliling Madinah. Di samping dua orang itu, Rasulullah juga mengutus Hubab ibnu Al-Mundhir bin Al-Jamuh.
Setelah keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh Abbas, Nabi SAW sangat terkejut. Ketika kemudian Salamah bin Salamah keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Madinah, bahkan sudah hampir memasuki kota. Salamah segera kembali dan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada warga Madinah.
Pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua penduduk Madinah merasa khawatir sekali akan akibat serbuan ini, yang dalam sejarah perang, Quraisy belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu. Pemuka-pemuka Muslimin di Madinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di masjid untuk menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.
Keesokan harinya, orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam—kaum munafik seperti disebutkan dan dilukiskan pula oleh Al-Qur'an—oleh Nabi diminta berkumpul untuk bermusyawarah. Nabi SAW berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota, maka penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka.
Abdullah bin Ubay bin Salul mendukung pendapat Nabi itu. Para sahabat Rasulullah—baik Muhajirin ataupun Anshar—juga sependapat dengan Rasulullah. Akan tetapi pemuda-pemuda yang bersemangat yang belum mengalami Perang Badar, juga orang-orang yang pernah ikut Perang Badar—dan mendapat kemenangan disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat mengalahkan mereka—lebih suka keluar menyongsong musuh di tempat mereka berada.
Pendapat ini mendapat dukungan luas. Mereka semua mengatakan bahwa bila Tuhan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh, itulah yang mereka harapkan. Dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya. Kalaupun mereka mengalami kekalahan dan mati syahid, mereka akan mendapat surga. Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati mereka.
Setelah jelas bahwa suara terbanyak ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Rasulullah berkata kepada mereka, "Saya khawatir kalian akan kalah."
Tetapi mereka tetap ngotot ingin menyerbu. Tak ada jalan lain, Rasulullah pun mengikuti pendapat mereka. Cara musyawarah ini sudah menjadi undang-undang dalam kehidupan beliau. Dalam menyikapi tiap masalah, beliau tidak mau bertindak sendiri, kecuali yang sudah diwahyukan Allah kepadanya.
Apabila suatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang yang akan mencapai sukses.
Dan Muhammad SAW berangkat memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan beliau berhenti. Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan, bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi sekutu Abdullah bin Ubay. Nabi bersabda, "Jangan meminta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, sebelum mereka masuk Islam!"
Orang-orang Quraisy kemudian sepakat menyiapkan angkatan perang guna memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan agar ikut serta bersama mereka, menuntut balas terhadap kaum Muslimin. Tak hanya kaum pria, pihak Quraisy juga membawa pula kaum wanita mereka, dipimpin oleh Hindun, istri Abu Sufyan.
Hindun adalah sosok yang paling ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa Badar itu, ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang dicintainya tewas terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Madinah yang disiapkan dari Dar An-Nadwa itu terdiri dan tiga brigade.
Brigade terbesar dipimpin oleh Talhah bin Abi Talhah terdiri dari 3.000 orang. Kecuali 100 orang saja dari Tsaqif, selebihnya dari Makkah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan senjata yang mereka bawa tidak sedikit, dengan 200 pasukan berkuda dan 3.000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.
Sementara itu, Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka, dengan teliti dan seksama memerhatikan semua kejadian itu. Di samping kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan golongannya, Abbas juga mempunyai rasa solider dan sangat mengagumi Muhammad.
Hal inilah yang mendorongnya—tatkala diketahuinya keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang begitu besar—menulis surat menggambarkan segala tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka. Surat itu diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada Nabi. Dan orang ini pun sampai di Madinah dalam tiga hari, dan surat itu pun diserahkan kepada Rasulullah.
Pasukan Quraisy pun berangkat dan sampai di Abwa'. Ketika melalui makam Aminah binti Wahab—ibunda Rasulullah SAW—timbul kedengkian beberapa orang yang berpikiran picik. Terpikir oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan itu agar kelak tidak menjadi kebiasaan Arab. "Jangan menyebut-nyebut soal ini. Kalau ini kita lakukan, Bani Bakar dan Bani Khuza'ah akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita," kata mereka.
Quraisy meneruskan perjalanan sampai di 'Aqiq, kemudian mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari Madinah.
Orang dari Ghifar yang diutus oleh Abbas bin Abdul Muthalib telah sampai di Madinah. Ia kemudian menyerahkan surat tersebut kepara Rasulullah, yang kemudian dibacakan oleh Ubay bin Ka'ab. Rasulullah meminta isi surat itu dirahasiakan, dan sang utusan kembali ke Madinah langsung menemui Sa'ad ibnu Al-Rabi' di rumahnya. Diceritakannya apa yang telah disampaikan Abbas kepadanya dan ia juga meminta supaya hal itu dirahasiakan. Akan tetapi istri Sa'ad yang sedang berada dalam rumah waktu itu, mendengar juga percakapan mereka. Dengan demikian, sudah tentu hal itu bukan rahasia lagi.
Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu Anas dan Mu'nis, oleh Muhammad ditugaskan menyelidiki keadaan Quraisy. Menurut pengamatan mereka, ternyata Quraisy sudah mendekati Madinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput sekeliling Madinah. Di samping dua orang itu, Rasulullah juga mengutus Hubab ibnu Al-Mundhir bin Al-Jamuh.
Setelah keadaan mereka itu disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh Abbas, Nabi SAW sangat terkejut. Ketika kemudian Salamah bin Salamah keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Madinah, bahkan sudah hampir memasuki kota. Salamah segera kembali dan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada warga Madinah.
Pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua penduduk Madinah merasa khawatir sekali akan akibat serbuan ini, yang dalam sejarah perang, Quraisy belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu. Pemuka-pemuka Muslimin di Madinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di masjid untuk menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.
Keesokan harinya, orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam—kaum munafik seperti disebutkan dan dilukiskan pula oleh Al-Qur'an—oleh Nabi diminta berkumpul untuk bermusyawarah. Nabi SAW berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba menyerbu masuk kota, maka penduduk kota ini akan lebih mampu menangkis dan mengalahkan mereka.
Abdullah bin Ubay bin Salul mendukung pendapat Nabi itu. Para sahabat Rasulullah—baik Muhajirin ataupun Anshar—juga sependapat dengan Rasulullah. Akan tetapi pemuda-pemuda yang bersemangat yang belum mengalami Perang Badar, juga orang-orang yang pernah ikut Perang Badar—dan mendapat kemenangan disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat mengalahkan mereka—lebih suka keluar menyongsong musuh di tempat mereka berada.
Pendapat ini mendapat dukungan luas. Mereka semua mengatakan bahwa bila Tuhan memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh, itulah yang mereka harapkan. Dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya. Kalaupun mereka mengalami kekalahan dan mati syahid, mereka akan mendapat surga. Kata-kata yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati mereka.
Setelah jelas bahwa suara terbanyak ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Rasulullah berkata kepada mereka, "Saya khawatir kalian akan kalah."
Tetapi mereka tetap ngotot ingin menyerbu. Tak ada jalan lain, Rasulullah pun mengikuti pendapat mereka. Cara musyawarah ini sudah menjadi undang-undang dalam kehidupan beliau. Dalam menyikapi tiap masalah, beliau tidak mau bertindak sendiri, kecuali yang sudah diwahyukan Allah kepadanya.
Apabila suatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang yang akan mencapai sukses.
Dan Muhammad SAW berangkat memimpin kaum Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan beliau berhenti. Dilihatnya di tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan, bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi sekutu Abdullah bin Ubay. Nabi bersabda, "Jangan meminta pertolongan orang-orang musyrik dalam melawan orang musyrik, sebelum mereka masuk Islam!"
No comments:
Post a Comment