Monday, November 28, 2011

Titik Luar Bumi Ternyata Tidak Kaya Dengan Oksigen

Sebuah penemuan baru mengungkapkan teori lama mengenai inti luar Bumi yang mengandung banyak oksigen adalah tidak benar.

Memang sulit untuk mengungkap sifat kimia dari inti luar Bumi dan mungkin tidak bisa dilakukan sepenuhnya. Namun ada tanda-tanda tertentu bisa digunakan oleh peneliti untuk membuat suatu kesimpulan informasi mengenai Bumi, yang mungkin terlihat lengkap.



Teori awal mengenai inti luar Bumi mengandung banyak oksigen berasal dari kenyataan bahwa senyawa kimia di Bumi sangat luas. Hal ini membuat lebih dari 20 persen dari luas atmosfer memiliki banyak kandungan air.

Tapi itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menyatakan inti luar Bumi kaya akan oksigen. Seperti diketahui Bumi terdiri dari Inti dalam dan luar, mantel, kerak dan atmosfer. Kelompok peneliti internasiolnal menemukan beberapa menit pertama pada inti luar Bumi memang terlihat kandungan oksigen cukup baik, tapi ini tidak bertahan lama.

Kelompok ini terdiri dari ahli Geofisika, Carnegie Institution untuk Science (CIS) dan beberapa ilmuwan China yang berasal dari Wuhan University of Technology, yang dikordinasikan oleh ketua peneliti yakni Haijun Huang.

"Kita tidak bisa menggunakan sample yang sudah didapatkan secara langsung, jadi kita harus belajar mendalami hal tersebut melalui percobaan laboratorium yang dikombinasikan dengan pemodelan dan data sismik," ungkap Yingwei Fei dari CIS, seperti dikutip Softpedia, Senin (28/11/2011).

Fei menambahkan penelitian melakukan serangkaian eksperimen dengan menggunakan gelombang kejut. Gelombang ini sama dengan gerakan tektonik dari gempa Bumi. Dengan menggunakan metode ini, peneliti memiliki hasil signifikan dan bisa mempengaruhi komposisi kimia dari materi yang ada di dalam inti luar Bumi.

Tim dari eksperimen ini memang belum bisa mengjelaskannya secara rinci, namun mereka menegaskan tidak benar jika inti luar Bumi mengandung banyak oksigen. Mereka juga menyatakan penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk memberikan kebenaran mengenai polemik ini. (submer: okezone)

Sunday, November 27, 2011

Antara Pulau Jawa Dan Sumatera


Para ahli telah bersepakat bahwa Pulau Jawa dengan Sumatera dulu menyatu. Bersama Kalimantan, kemudian membentuk dataran yang disebut Sunda Besar. Pemisahan Jawa dan Sumatera diyakini adalah akibat gerakan lempeng Bumi, walaupun tak sedikit yang berpendapat bahwa letusan Gunung Krakatau sebagai penyebab pemisahan ini.
Pendapat yang mendukung pemisahan Jawa dan Sumatera karena letusan Krakatau biasanya mengacu pada Pustaka Raja Purwa, yang ditulis pujangga Jawa, Ronggowarsito, pada tahun 1869. Dalam buku ini dikisahkan, letusan Gunung Kapi—yang belakangan diidentifikasi sebagai Gunung Krakatau—menjadi penyebab pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera. Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi.
Peneliti dari Los Alamos National Laboratory (New Mexico), Ken Wohletz, termasuk yang mendukung tentang kemungkinan letusan besar Krakatau purba hingga memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera. Dia membuat simulasi tentang skenario letusan super. Namun, berbeda dengan Ronggowarsito, Ken menyebutkan, letusan itu kemungkinan terjadi puluhan ribu tahun lalu.

Melalui penanggalan karbon dan radioaktif, para ahli geologi memastikan bahwa Krakatau pernah beberapa kali meletus hebat. "Sepertinya pembentukan Selat Sunda tidak mungkin karena sebuah letusan tunggal besar, seperti ditulis dalam legenda (Pustaka Raja Purwa) itu. Setidaknya ada dua periode letusan besar di Krakatau, tetapi itu sekitar ratusan bahkan ribuan tahun lalu, tidak pada tahun 416 Masehi," sebut Zeilinga de Boer dan Donald Theodore Sannders dalam Volcanoes in Human History, 2002.
                                                              Gunung krakatau Purba

Walaupun pencatatan Ronggowarsito tentang waktu letusan masa lalu Krakatau diragukan ketepatannya, pujangga ini barangkali benar soal "pemisahan" Pulau Jawa dengan Sumatera yang berkaitan erat dengan letusan Krakatau. Namun, pemisahan Jawa dan Sumatera sepertinya bukan karena letusan Krakatau. Sebaliknya, Krakatau terbentuk karena pemisahan kedua pulau ini sebagai produk gerakan tektonik di dalam Bumi.
Geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo, mengatakan, pemisahan Jawa dan Sumatera terjadi karena gerakan tektonik. ”Pulau Jawa dan Sumatera bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke Euro-Asia. Perbedaan ini menyebabkan terbukanya celah di dalam Bumi,” kata Indyo.
Sebagaimana Indyo, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono juga meyakini proses tektoniklah yang membentuk Krakatau. Pulau Jawa, menurut Surono, bergerak ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan Pulau Sumatera bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan 7 cm per tahun. Proses ini menyebabkan Pulau Sumatera bergerak ke arah utara dan meninggalkan Pulau Jawa sehingga membuka kerak Bumi di Selat Sunda.
Sejauh ini, Sumatera telah berputar sekitar 40 derajat dibandingkan Jawa. Jelle Zeilinga dan Donald Theodore menyebutkan, separuh dari putaran ini terjadi dalam waktu dua juta tahun. Perputaran ini menyebabkan adanya perenggangan di antara dua pulau, menjadi jalan bagi batu yang meleleh, atau magma, untuk keluar di sepanjang zona rekahan Krakatau, sehingga membentuk tubuh gunung ini dari dasar laut.
Penyaluran energi
Surono mengatakan, letusan gunung api pada prinsipnya terjadi sebagai bentuk penyaluran energi dari bawah Bumi yang dikumpulkan oleh gerakan lempeng Bumi. Selain berupa letusan gunung api, energi ini juga bisa dilepaskan dalam bentuk gempa bumi.
"Letusan gunung api dan gempa bumi biasanya saling mengisi," katanya. Di Sumatera, energi dari gerakan lempeng lebih banyak disalurkan dalam bentuk tingginya intensitas gempa di sepanjang Sesar Besar Sumatera. "Kondisi ini menyebabkan di Sumatera tidak ada lagi letusan gunung api yang berskala besar."
Letusan supervolcano Toba yang mengubah Bumi, terakhir terjadi sekitar 74.000 tahun lalu. "Saat itu, mungkin sesar besar Sumatera kondisinya tidak seaktif sekarang sehingga akumulasi energinya dilepaskan dalam bentuk letusan gunung api Toba," kata Surono.
Sebaliknya, di Pulau Jawa, intensitas gempa darat relatif sedikit dibandingkan Sumatera. Namun, letusan gunung apinya relatif lebih sering. "Energi yang dikumpulkan dari tumbukan lempeng kebanyakan disalurkan dalam bentuk letusan gunung karena sesar darat di Jawa tidak ada yang besar," katanya.
Bagaimana dengan Krakatau yang berada di antara dua sistem geologi Jawa dan Sumatera yang berbeda ini?
Krakatau yang berada di titik engsel antara Pulau Jawa dan Sumatera menjadi unik. Ditambah lagi dengan keberadaan lautan yang mengelilingi pulau gunung api ini, Krakatau menjadi sangat berbahaya. Jika terjadi kebocoran dan air laut menembus ke dalam Bumi hingga mendekati kantong magma yang mendidih, letusan besar bisa terjadi. Padahal, jika terjadi letusan besar, kemungkinan terjadinya tsunami juga sangat tinggi.
Kemunculan kembali Anak Krakatau dari dalam laut pada tahun 1930-an, setelah letusan besar pada Agustus 1883 dan menghancurkan nyaris seluruh tubuh pulau gunung api ini, menandakan aktivitas tektonik yang menyuplai magma terus terjadi. Akankah Anak Krakatau menjadi seperti "ibunya" yang meletus hebat, mengirim tsunami besar sehingga menewaskan lebih dari 36.000 jiwa?
Geolog dan juga penulis buku populer, Simon Winchester (2003), menyebutkan, proses-proses yang mengarah pada kejadian petaka tahun 1883 tidak bisa dihentikan. Selama proses subduksi atau penunjaman lempeng masih terjadi, selama itu pula pasokan energi dan magma ke Krakatau masih akan terus terkumpul.
Masalahnya, kita tidak akan pernah tahu kapan dan seberapa kuat gunung api akan meletus. "Kalau ada alat yang dapat meramalkan letusan gunung api akan saya beli semua. Termasuk penjualnya," Surono berkelakar. "Kita tidak bisa melawan alam. Akan tetapi, yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita membangun sistem mitigasi bencana yang kuat dan menyiapkan masyarakat untuk terus waspada," lanjutnya. (sumber:kompas.com)

Menggali Misteri Muara Jambi


Bagi masyarakat umum, candi mungkin lebih dikenal berada di pulau jawa, namun jangan salah. Siapa sangka terdapat perkomplekan candi yang diperkirakan dibangun pada zaman yang sama dengan pembangunan Borobudur di Provinsi Jambi.

Meski belum diteliti lebih lanjut fungsi serta sejarahnya, pihak Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Jambi meyakini bahwa situs yang belum terungkap seluruhnya tersebut bisa menjadi potensi wisata sejarah yang fantastis, bahkan tak kalah dengan Borobudur.
Candi Muara Jambi sendiri terletak di Desa Muaro Jambi Kecamatan Muaro Sebo. Dari perkiraan luas 2.612 ha tersebut, candi terletak 2 km sebelah timur laut kota Jambi atau 20 menit perjalanan menggunakan kendaraan darat melalui Jembatan Batanghari 2. Di kawasan ini terdapat Candi Astano, Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Kembar Batu, Candi Gedong, Candi Kedato dan Candi Koto Mahligai.
Jika dilihat dari segi arsiteknya, bangunan tersebut merupakan peninggalan kebudayaan Buddha pada abad IV dan V masehi. Beberapa meter dari candi telaga tempat pemandian para raja yang dinamakan telaga Rajo. Konon, terdapat harta karun yang terpendam di situs-situs tersebut.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Didy Wuryanto, pihaknya tengah melakukan penelitian terhadap situs tersebut. dengan dibantu alat gelombang detektor. Pihaknya meyakini masih banyak sekali candi-candi yang masih terkubur di area tersebut. Dari total 84 candi yang diperkirakan, yang sudah di eskavasi baru 8 candi, sementara sisanya menyusul karena terhambat masalah biaya pengembangan.
Identitas kebudayaan lokal yang ada di Indonesia memang belum sepenuhnya terungkap, masih banyak yang harus digali demi mencari jati diri, siapa kita sebenarnya dan dari mana kita berasal. Hal tersebut berguna bagi bekal kita untuk melanjutkan masa depan dengan percaya diri, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal akan sejarahnya. (sumber:kompas.com)

Pada Zaman Purba, Jambi Dunia Bawah laut


Jambi berharap taman bumi (geopark) di Kabupaten Merangi dapat menjadi warisan dunia karena di lokasi tersebut ditemukan fosil flora dan fauna laut berusia 250-290 juta tahun lalu dalam keadaan utuh dan tiada duanya di dunia.
"Kami berharap pemerintah berjuang agar taman bumi menjadi warisan dunia, apalagi kriterianya lebih baik dibanding yang lain," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi, Didy Wurjanto, di sela kunjungan jurnalistik wartawan pariwisata di Jambi, Jumat.

Untuk menjadikan suatu lokasi menjadi warisan dunia maka perlu diusulkan ke UNESCO (Badan Pendidikan, Sosial dan Budaya PBB).
Didy menjelaskan di taman tersebut ditemukan banyak fosil kerang, yang berarti menunjukkan bahwa Jambi dahulunya di bawah laut.
Selain itu juga ditemukan fosil tumbuhan yang berasal dari masa dinosaurus masih hidup.
Ia mengatakan, dari fosil dan bukti-bukti lainnya juga dapat diduga bahwa telah terjadi tujuh letusan gunung di daerah tersebut.
Saat ini, katanya, telah banyak peneliti dari dalam maupun luar negeri yang menaruh perhatian terhadap situs tersebut.
Hasil penelitian yang bisa menceritakan keunikan daerah tersebut dapat digunakan sebagai upaya untuk menjadikan taman bumi sebagai warisan dunia.
Situs tersebut terdapat di samping kanan kiri Sungai Batang Merangi sehingga untuk mengetahui adanya fosil-fosil tidak perlu membelah batu atau mengikis dinding. Langsung terlihat. Ini yang tidak dimiliki situs lainnya.
Bukti-bukti fosil dan kondisi alam taman bumi Merangi, katanya, lebih baik dari yang ada di China dan Malaysia yang sudah dijadikan warisan dunia. "Ini yang terbaik," katanya.
Ia berharap, jika dijadikan warisan dunia maka akan banyak turis dan perhatian dunia terhadap situs tersebut.
Selain turis biasa, ia mengatakan ada banyak kelompok turis tertentu yang sangat menaruh perhatian terhadap warisan dunia. "Mereka punya uang lebih sehingga bisa meningkatkan ekonomi," katanya.
Selain dijadikan wisata minat khusus, wisatawan juga bisa sekaligus melakukan wisata petualang arung jeram karena situs tersebut berada di sisi sungai.
Saat ini sudah ada pihak yang menyediakan alat-alat untuk melakukan arung jeram. Panjang sungai yang dapat dijadikan wisata arung jeram adalah 10 km yang dapat ditempuh dengan waktu 1,5-2 jam.
Pada 2012, katanya, di lokasi itu akan dibangun pusat informasi geologi sebagai bagian dari pusat informasi turisme. Selain itu juga akan dibangun jembatan untuk pengunjung.
Lokasi tersebut ditemukan pada tahun 1980 namun baru intensif diperhatikan dan dikembangkan sejak tahun lalu.
Untuk mencapai lokasi diperlukan perjalanan darat sekitar 4-5 jam dari kota Jambi.( sumber: Kompas.com)

Logam Teringan Hampir Seringan Udara


Para ilmuwan dari Universitas California Irvine, HRL Laboratories, dan California Institute of Technology di Amerika Serikat berhasil menciptakan material logam paling ringan. Saking ringannya, bahkan bisa disebut hampir seringan udara.
Material paling ringan itu disebut ultralight metallic micriolattice. Publikasi di jurnal Science, Jumat (18/11/2011) lalu, menyebut, material ini 100 kali lebih ringan daripada styrofoam.

Ilmuwan mengungkap, rahasia ringannya material adalah pada arsitektur tingkat selulernya. Material tersusun dari 99,99 persen udara dan hanya 0,01 persen unsur padat. Komponen material padatnya terdiri atas 90 persen nikel. Susunannya membuat massa jenis material ini bahkan kurang dari seperseribu massa jenis air.
"Triknya adalah membuat susunan tabung berongga (skala nanometer) dengan ketebalan 1.000 kali lebih tipis dari rambut manusia," kata Tobias Shandler dari HRL Laboratories seperti dikutip Physorg, Jumat.
Ilmuwan mengatakan, material ini begitu ringan sehingga seperti bulu burung saat jatuh. Butuh waktu 10 detik bagi material ini untuk menyentuh tanah jika dijatuhkan dari ketinggian bahu orang dewasa sehingga mungkin tak cepat rusak.
Peneliti menuturkan, material ultraringan ini sangat cocok untuk tujuan perlindungan. Material ini sangat bermanfaat bagi dunia kedirgantaraan, peredam akustik, dan juga pada baterai. Saat ini, material ini dikembangkan untuk Defense Advanced Research Projects Agency. (sumber: kompas.com)

Cacing unik Dari Ke Dalaman Laut 4 km


 Ilmuwan mempelajari spesies cacing dari laut dalam yang secara ilmiah disebut enteropneusts. Spesies tersebut memiliki kenampakan unik mirip dengan biji pohon ek sehingga dijuluki cacing acorn.
Mulanya, cacing ini diduga hidup di wilayah laut dangkal. Namun, observasi pada tahun 1965 menunjukkan, jenis cacing tersebut hidup di wilayah laut sedalam hampir 4 km. Upaya mempelajari jenis cacing ini dimulai sejak tahun 2000 lalu hingga saat ini. Hingga kini, mereka berhasil melakukan 498 observasi untuk mempelajari cacing itu.

Observasi dilakukan dengan kendaraan laut dalam di Monterey Bay Aquarium Research Institute dan National Oceanography Center di Southamptom, Inggris. Dalam observasi yang dipimpin Karen Osborn dari Smithsonian Institute di Amerika Serikat, video tentang cacing acorn telah diperoleh. Tak cuma itu, sembilan spesies baru juga ditemukan.
Seperti diuraikan di LiveScience, Selasa (15/11/2011), hasil paling menarik dari studi adalah cara cacing bergerak. Cacing diketahui memiliki cara yang unik untuk menambah berat dirinya, hampir serupa dengan sistem kapal selam.
Saat makan di dasar laut, cacing ini diketahui juga menelan pasir dan sedimen hingga memenuhi perutnya. Ini untuk menjaga agar badannya lebih berat dan bisa bertahan di dasar laut.
Sementara saat ingin bergerak, cacing mengeluarkan semua pasir dan sedimen. Kemudian mereka berusaha mengangkat diri beberapa sentimeter hingga 20 meter di atas laut. Setelah itu, mereka memanfaatkan arus untuk bergerak.
Pemanfaatan arus membuat cacing bisa bermigrasi ke wilayah jauh, bahkan hingga wilayah laut dangkal tanpa banyak mengeluarkan energi. Hasil studi ini dipublikasikan di Proceeding of the Royal Society B. (sumber:kompas.com)

Menyingkap Rahasiah Kehidupan Di Gunung Kraktau


15 Agustus 2011. Langit cerah tanpa awan. Matahari terasa dekat, teriknya memanggang. Puncak Anak Krakatau menyemburkan asap tipis, delapan puluh meter dari jangkauan. Batuan lepas berguguran saat diinjak dan udara bertuba menyesakkan napas.
Sejauh mata memandang di ketinggian itu hanyalah batuan runcing, pasir, abu, dan bom—batuan pijar yang setelah mendingin tampak seperti gumpalan lumpur berwarna hitam legam tetapi sangat keras dan pejal. Bom yang saat dilontarkan bersuhu lebih dari 600 derajat celsius itu menciptakan lubang-lubang di dalam tanah, sebagian menghanguskan tanaman. Suhu pada permukaan tanah tercatat mencapai 45 derajat celsius.

Semakin ke atas menuju puncak, daratan tertutup lapisan putih kekuningan berbau belerang. Di balik lapisan putih itu, bumi seperti bergolak, panasnya menguar dan menyengat kulit. Pada kedalaman setengah meter bisa mencapai 60 derajat celsius.
Kondisi lingkungan yang ekstrem membatasi perkembangan vegetasi hanya pada zona di bawah 200 meter dari permukaan laut (mdpl). Cemara laut (Casuarina equisetifolia) hanya bertahan di pesisir pantai. Di beberapa bagian terdapat tegakan campuran waru laut (Hibiscus tiliaceus), mara (Macaranga tanarius), dan beringinan (Ficus fulva dan Ficus septica).
"Sebelum letusan Oktober-November 2010, di kawasan ini masih banyak paku-pakuan. Bahkan cemara juga sudah mulai tumbuh. Semua tersapu habis sekarang," kata Tukirin Partomihardjo (59). Selama 30 tahun, profesor botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu meneliti suksesi ekologis di Krakatau. Dia mendata spesies yang datang dan hilang di Krakatau.
Menurut Tukirin, tak diragukan lagi, Anak Krakatau yang kerap meletus menyebabkan kehidupan muskil hadir di zona 200 mdpl hingga ke puncaknya di ketinggian sekitar 286 mdpl. Suasana "kekosongan" itu mengingatkan pada catatan Rogier DM Verbeek, geolog Belanda, yang datang ke Krakatau pada 11 Oktober 1883 atau enam minggu setelah letusan hebat mengguncang pada 27 Agustus 1883. "Permukaan tanah asli terkubur lapisan abu dan batu apung. Daerah ini masih sedemikian panasnya, sehingga beberapa pemikul barang yang bertelanjang kaki terus berjingkat-jingkat seperti menari."
Verbeek menjadi orang pertama di Rakata, kepingan pulau yang tersisa setelah Krakatau meletus. Pulau Krakatau yang semula tersusun dari tiga puncak, yaitu Danan (450 mdpl), Perbuatan (120 mdpl), dan Rakata (822 mdpl), kemudian runtuh ke dalam laut. Hanya tersisa setengah tubuh Rakata yang berbentuk bulan sabit menghadap kaldera yang tersembunyi di kedalaman 180 meter di bawah permukaan laut. Sedangkan Pulau Sertung dan Panjang, sisa kaldera tua sebelum letusan 1883 yang berada di lingkar luar Pulau Krakatau semakin bertambah luas dan tinggi karena tertimbun abu dan batu apung sampai ketebalan lebih dari 50 meter.
Pada waktu itu, daratan Rakata masih terlalu panas. Verbeek menyaksikan air hujan yang berubah menjadi uap saat menyentuh lantai pulau yang panas. Aliran lumpur mengucur dari tebing yang dilapisi lava. Ia tak melihat tanda-tanda kehadiran makhluk hidup di sana.
Sertung dan Panjang juga tak menyisakan kehidupan, selain tonggak-tonggak kayu mati yang hangus terbakar. Gambaran tentang hutan lebat dalam sketsa John Webber, anggota tim ekspedisi Kapten James Cook yang menyinggahi Krakatau dan pulau-pulau di sekelilingnya sebelum 1883, sama sekali tak terlihat jejaknya. Verbeek pun berkesimpulan, seluruh kehidupan di pulau itu pasti telah musnah.
Pendapat itu kemudian didukung sejumlah ahli botani, seperti Melchior Treub, Direktur Kebun Raya Bogor (1880-1909) sehingga memunculkan konsep tentang area kosong (clean slate) atau tabula rasa. Treub (1888) meyakini, seluruh kehidupan di kawasan Krakatau musnah karena abu vulkanik yang sangat panas dan batu apung menutup kawasan ini dari pantai sampai titik tertinggi hingga ketebalan 80 meter.
Namun, pendapat lain dikemukakan Cornelis Andreis Backer, anak buah Treub. Pada tahun 1908, dia mengunjungi Krakatau dan berpendapat bahwa terdapat akar, benih, dan organisme tanah yang mungkin bertahan dalam lubang yang terlindung di beberapa tempat di bagian selatan Rakata. Pendapat ini dibuatnya setelah dia melihat adanya batang kayu besar yang masih segar di bawah timbunan batu apung. Di lereng agak tinggi di bagian selatan, dia juga menemukan abu tidak terlalu tebal menutupi. Dia berpendapat bahwa musim hujan pada bulan September dan Oktober 1883 mungkin menyebabkan bertahannya kehidupan.
Tukirin menolak pendapat Backer. "Batang kayu yang ditemukan Backer bukan dari Rakata, tetapi dibawa gelombang laut beberapa tahun setelah letusan, lalu tertimbun longsoran batu apung," katanya.
Tukirin semakin yakin bahwa letusan Krakatau pada 1883 telah menciptakan tabula rasa setelah dia menemukan tonggak kayu menjadi arang, yang tersingkap di tebing pantai Rakata. "Arang kayu itu tertimbun batu apung dan pasir hingga kedalaman lebih dari 20 meter meter. Tidak mungkin ada kehidupan bertahan di bawah timbunan sedalam itu," katanya.
Hilangnya seluruh kehidupan setelah letusan 1883 atau adanya beberapa kehidupan yang bertahan masih menjadi perdebatan dengan bukti dan alasan masing-masing. "Kontroversi ini menjadi begitu mapan sehingga ia sudah lama diberi nama the Krakatoa (Krakatau) problem," tulis Simon Winchester (2003).
Namun, bagaimana pun kerasnya perdebatan, setiap ahli botani tetap saja tergelitik untuk mengetahui bagaimana kehidupan mengisi Krakatau pasca-letusan besar itu? Kapan, siapa atau apa, yang pertama kali datang dan mengolonisasi tabula rasa—atau setidaknya nyaris seperti tabula rasa itu? (sumber:kompas.com)